Share this post on:

Manusia yang ramah, udara yang bersih, dan kesahajaan hidup dengan alam, jika kamu mencari hal itu setiap kali mengunjungi lokasi tertentu, maka perjalananmu harus sampai ke Desa Tumbang Lapan untuk mendapatkan paket lengkap ini secara gratis. Berada di Kecamatan Miri Manasa, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Tumbang Lapan adalah ‘surga’ energi terbarukan yang melimpah dari potensi pembangkit listrik tenaga air hingga pembangkit listrik tenaga surya. 

Desa yang dihuni 359 jiwa ini telah bertahan puluhan tahun tanpa sambungan elektrifikasi dari pemerintah. Tumbang Lapan tentu tidak sendiri, masih ada ratusan desa yang belum mendapatkan akses listrik yang memadai di pelosok Indonesia. Tidak dapat dipungkiri hal ini dikarenakan faktor geografi letak desa dan akses infrastruktur yang belum layak hingga pada ketersedian cadangan energi di Kabupaten Gunung Mas yang masih terbatas.

Lalu bagaimana masyarakat Tumbang Lapan bertahan puluhan tahun lamanya tanpa kehadiran elektrifikasi? Jawabannya tidak lain dan tak bukan adalah energi terbarukan. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral melalui Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada 2010-2011 melakukan kunjungan ke desa tersebut. Mereka memutuskan untuk membangun sebuah pembangkit listrik mikrohidro yang berkapasitas 12kW.

PLTMH Tumbang Lapan menjadi pembangkit listrik bertenaga air pertama di Kabupaten Gunung Mas. Selain mengandalkan pembangkit listrik dari potensi air sungai, masyarakat desa pun telah mengandalkan penggunaan solar home system untuk penerangan di malam hari. Kolaborasi dua jenis energi terbarukan ini yang membuat Tumbang Lapan patut dijuluki ‘surga’ energi terbarukan. 

Di saat beberapa kota besar di Indonesia baru mulai menggiatkan transisi ke energi bersih, anak-anak, ibu-ibu, dan komunitas masyarakat di Tumbang Lapan telah terbiasa hidup dengan energi terbarukan. Keselarasan penggunaan energi terbarukan oleh masyarakat ini adalah contoh nyata bahwa energi terbarukan adalah sumber energi yang paling demokratis dalam pemenuhan sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Masyarakat Indonesia”. Lalu seberapa jauh kehadiran PLTMH ini menjadi sumber elektrifikasi bagi desa yang dihuni 100KK tersebut? Jawabannya, tak lebih lama dari dua kali masa panen, PLTMH Tumbang Lapan hanya bertahan selama kurang lebih enam bulan.

Kehadiran PLTMH Tumbang Lapan pada 2011 menjadi angin segar atas kerinduan masyarakat mengenai hak mereka mendapatkan akses listrik. Energi terbarukan yang bersumber dari air sungai ini menjadi primadona. Namun pesona PLTMH sebagai solusi kehidupan masyarakat tak bertahan lama. Bencana sirnanya ‘surga’ energi terbarukan ini terjadi pada awal 2012. 10 Tahun silam, konflik terhadap PLTMH ini terjadi. Sistem iuran tidak berjalan dengan baik, perbedaan pendapat para penjaga rumah pembangkit, hingga bencana alam berupa banjir yang membuat akhirnya PLTMH terbakar, rusak, dan tidak dapat digunakan lagi.

Pengakuan perangkat desa mengatakan bahwa mereka pernah mengupayakan untuk meminta perbaikan. Namun pengaduan kepada pemerintah kabupaten dan provinsi tak berbalas dengan solusi. Alasan pihak kabupaten dan provinsi pun menjalankan aturan sesuai regulasi sebab status PLTMH Tumbang Lapan masih belum hibah. Dengan demikian, segala proses perbaikan masih dibebankan kepada Kementerian Energi Sumber Daya Mineral dalam hal ini Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Satu dekade berlalu, entah telah sampai mana laporan nasib PLTMH Tumbang Lapan bergulir dan tidak ada perbaikan. 

Akhirnya ‘surat kematian’ PLTMH Tumbang Lapan tiba pada Juni 2022. Setelah dilakukan survey dengan berbagai pertimbangan seperti akan masuknya instalasi listrik dari Perusahaan Listrik Negara dan kondisi PLTMH yang rusak parah, maka diputuskan bahwa PLTMH Tumbang Lapan dihapuskan dari aset negara. 10 Tahun mati suri dan kini ‘surga’ yang pernah disambut antusias oleh masyarakat itu kini hanya menjadi cerita dan sebentar lagi sekadar dongeng. 

Meski PLTMH Tumbang Lapan telah dinyatakan dihapuskan dari aset, sebenarnya potensi energi terbarukan di Tumbang Lapan tidak lenyap. Mereka masih menggunakan solar home system dan debit air di sungai Tumbang Lapan masih berpotensi untuk adanya pembangkit energi mikrohidro. Akan tetapi, pihak kabupaten pun tidak dapat menjanjikan rekonstruksi karena keterbatasan anggaran daerah. 

Apa yang keliru dari proses kehadiran ‘surga’ energi terbarukan ini yang tidak berumur panjang? Salah satunya adalah kesiapan masyarakat. PLTMH Tumbang Lapan tidak sendiri, kasus pembangkit listrik energi terbarukan terbengkalai banyak terjadi di daerah lainnya. Teknologi atau inovasi sekeren apapun tidak akan bergerak tanpa dibarengi pengembangan sumber daya manusianya. Harusnya ini menjadi ‘wasiat kematian’ dari PLTMH Tumbang Lapan. Sudah saatnya pemerintah tak hanya berfokus pada pembangunan fisik saja melainkan dibarengi dengan edukasi manusianya. Transisi energi tidak sekadar mengganti sumber energi fosil menjadi energi terbarukan, tapi juga bertanggung jawab menyiapkan sumber daya manusia yang mampu memahami proses transisi energi ini dengan baik. Jika memang Indonesia ingin melalui masa transisi energi ini dengan selamat, baiknya ‘wasiat’ PLTMH Tumbang Lapan dijalankan.

Share this post on: