Share this post on:

Education is human right with immense power to transform

Kofi Annan

Sisa menghitung hari bagi kita untuk merayakan satu tahun Kurikulum Merdeka Belajar. Februari 2022 lalu, Kurikulum Merdeka Belajar resmi diluncurkan oleh Medikbudristek Nadiem Makarim. Konsep kurikulum terbaru ini diharapkan memberikan pendekatan yang lebih baik kepada siswa untuk dapat mengoptimalkan bakat dan potensi mereka. Sekolah berperan sebagai wadah bagi siswa untuk menjadi mandiri dan berdaya dengan pelajaran yang lebih interaktif dan berfokus kepada pengembangan personal setiap anak.

Tujuan baik dari Merdeka Belajar disambut dengan antusias. Siapa pun tentu ingin melihat anak Indonesia tumbuh dengan baik dan mencapai impian untuk memberikan sumbangsih terbaik untuk bangsa. Tetapi, siapa yang telah dan mampu untuk menjalani pembelajaran yang merdeka ini? Apa makna kemerdekaan dalam belajar? Akses dan fasilitas yang memadai, sumber daya yang berdaya, dan materi ajar yang interaktif dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam.

Sebuah sekolah bernama Sekolah Dasar Tumbang Lapan yang berada di Desa Tumbang Lapan, Kecamatan Miri Manasa, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, menjadi salah satu sekolah yang dalam proses menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar. Sekolah ini memiliki 50 orang siswa dengan dua orang guru PNS termasuk kepala sekolah dan seorang guru honorer.

Fasilitas kelas dengan tempat duduk dan meja yang terbatas, tanpa akses listrik, tanpa koneksi internet, dan hanya memiliki gedung perpustakaan dengan koleksi buku yang jauh dari kategori layak. Jangankan bermimpi untuk merasakan merdeka belajar, siswa masih belum mendapatkan hak mereka atas fasilitas sekolah yang nyaman untuk belajar. Sekolah bahkan lebih sering tutup karena keterbatasan tenaga pengajar. Tiga guru dengan enam kelas, berarti setiap guru akan mengajar dua kelas setiap harinya.

Keterbatasan-keterbatasan ini membuat impian merdeka belajar jadi sesuatu yang semu bagi mereka. Selain itu, Kurikulum Merdeka Belajar juga menjamin kualitas dan kesejahteraan guru. Nyatanya, tenaga honorer mendapatkan upah dari dana Bantuan Operasional Sekolah yang tak lebih dari lima ratus ribu sebulan yang terkadang diberikan tiga bulan sekali.

Maka kesejahteraan guru masih jauh dari kata merdeka. Setahun proses penerapan Merdeka Belajar namun guru belum memeroleh pelatihan dan pengembangan kapasitas. Proses penerapan kurikulum baru ini juga mewajibkan guru mengikuti akses pelatihan dengan ketentuan internet dan menggunakan dana BOS. Sebagaimana diketahui, sekolah di daerah 3T seperti Tumbang Lapan tidak memiliki akses internet dan dana bantuan operasional pun sangat terbatas. Pada akhirnya, solusi yang dihadirkan tidak pernah menyentuh permasalahan pendidikan yang sebenarnya di masyarakat akar rumput.

Rata-rata hanya 10 siswa dari 50 total siswa yang mampu membaca dengan lancar. Pengembangan konten mengajar berbasis teknologi dengan konsep interaktif sebagaimana dicita-citakan Kurikulum Merdeka Belajar, sekali lagi hanya jadi fatamorgana bagi anak-anak. Faktanya tingkat kemampuan baca tulis masih sangat rendah.

Kisah di Sekolah Dasar Tumbang Lapan ini hanya satu dari sekian banyak fakta miris wajah pendidikan kita di daerah. Masih ada ribuan sekolah dan ratusan jiwa anak-anak bangsa yang belum mendapatkan hak atas pendidikan yang layak yang merupakan bagian dari hak asasi mereka sebagai warga negara dan manusia sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945. Urgensi pendidikan dasar adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh negara.

Permasalahan dan kondisi pendidikan di masyarakat akar rumput adalah hal sangat esensial yang semestinya menjadi pertimbangkan utama dalam penyusunan kurikulum. Seharusnya anak-anak ini tidak hanya berakhir menjadi angka yang menopang analisa keberhasilan Kurikulum Merdeka Belajar, bukan?

Share this post on: