Semakin kesini semakin sulit menemukan anak muda yang menetap di kampung halaman. Ada yang keluar menuntut ilmu, melanjutkan sekolah hingga pulau seberang. Ada pula yang memang sengaja merantau jauh mencari pekerjaan hingga jarang kembali. Alasannya sangat beragam, bagi yang bersekolah merasa prospek ilmu yang dipelajari lebih mendukung sistem hidup perkotaan. Bagi yang mengadu nasib menganggap bahwa kota adalah tempat perbaikan nasibnya akan terwujud.
Fenomena seperti ini sudah sangat lazim kita temukan dari berdekade silam. Fenomena yang terlihat sudah klasik dari sudut pandang perkotaan, namun sangat kontras dampaknya dirasakan oleh masyarakat akar rumput. Tak luput Desa Mentajoi, di pelosok Kalimantan Barat. Di desa ini, sudah sangat sulit menemukan pemuda berlalu-lalang. Hampir semua dari mereka memilih hidup di luar desa, merantau ke ibu kota kecamatan, kabupaten, bahkan ke ibu kota provinsi untuk mengadu nasib.
Dari enam ratus lebih penduduk yang tercatat di data administrasi desa, hanya berkisar 20% yang menetap. Sebagian besar adalah orang tua dan anak-anak. Pun anak-anak ini seusai menamatkan SD juga terpaksa harus keluar desa untuk lanjut ke jenjang sekolah berikutnya. Jika tidak lanjut, kebanyakan mereka juga akan tetap keluar untuk mulai membanting tulang mencari uang. Kita tahu, fenomena ini tidak hanya di Desa Mentajoi. Ada ratusan, bahkan ribuan desa mengalami hal serupa.
Hal ini tentu tidak terlepas dari problematika yang dihadapi masyarakat di pedesaan. Sulitnya mencukupi kebutuhan hidup di desa kerap menjadi alasan utama. Tak ayal, kami pun juga melihat banyak masyarakat di Desa Mentajoi kesulitan memperoleh beras untuk makan sehari-hari. Permasalahan basis yang tak dapat dipungkiri timbul karena berbagai penyebab yang begitu kompleks. Namun, apakah keputusan meninggalkan desa dapat menjadi solusi dari permasalahan ini? Apakah dengan keluar desa dapat memperbaiki nasib mereka?
Tak jarang juga terlihat para perantau yang kalah dalam pertarungan sengit perkotaan, kembali ke kampung. Mereka kebingungan dan kelimpungan mencari cara bertahan hidup. Bagaimana tidak? Banyak dari keterampilan yang mereka kuasai berupa keterampilan mekanis yang terbatas di tempat sebelumnya ia bekerja. Sangat jauh dengan cara hidup di desa yang meminta mereka dekat dan terampil mengelola alam sekitar. Pada akhirnya mereka mengalami alienasi di tempat asal sendiri. Merasa asing. Ilmu yang diperoleh dari sekolahan tidak dapat diterapkan di kampung halaman. Disini esensi pendidikan dapat dipertanyakan.
Apa gunanya pendidikan jika hanya akan membuat seseorang merasa menjadi alien ketika kembali ke dusunnya sendiri? Apa gunanya pendidikan, apabila hanya akan membuat mereka tercerabut dari akar rumputnya? Seberapa penting peran pendidikan dalam hal ini?
Bukankah pendidikan semestinya bersifat produktif dan dapat menjawab persoalan hidup masyarakat? Membuat individu mampu memahami berbagai kebutuhan dan persoalan hidupnya sendiri sehingga dapat menemukan solusi dari permasalahan tersebut.
Bukankah pendidikan idealnya mampu membuat pemelajar merasa utuh dan merdeka? Mampu membuat individu mengenal dan memahami dirinya sendiri, kemudian menentukan gaya hidup yang ingin mereka jalani. Bukan justru menjadi budak dari standar gaya hidup perkotaan yang diglorifikasi sedemikian rupa.
Sayangnya, hingga hari ini kita masih melihat konsep dan implementasi pendidikan sangat kontraproduktif dan tidak kontekstual terhadap kebutuhan sosial masyarakat setempat. Pendidikan dijadikan alat penundukan. Pendidikan dijadikan industri untuk “mencetak” manusia, seolah-olah manusia adalah komoditas yang patut diperdagangkan. Situasi pendidikan membuat individu kehilangan martabat dan independensi pikiran, hingga menjelma menjadi robot yang tunduk dan patuh. Robot yang sulit untuk menyadari bahwa ia sedang ditindas oleh pendidikan itu sendiri.