Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi dengan tingkat elektrifikasi terendah di Indonesia. Sebagaimana dilansir dari data yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, terdapat sekitar 467 desa yang belum memperoleh akses listrik dari Perusahaan Listrik Negara. Kabupaten dengan elektrifikasi terendah yaitu Gunung Mas yang memiliki sekitar 52 desa tanpa akses listrik dari PLN dan salah satunya adalah Desa Harowu.
Desa Harowu menjadi desa yang paling utara di Kabupaten Gunung Mas dan termasuk bagian dari Kecamatan Miri Manasa. Kondisi akses jalan dan infrastruktur menjadi salah satu alasan terlambatnya akses listrik di desa ini. Kondisi yang serba sulit ini tidak membuat 300 penduduk desa menjadi patah semangat untuk memeroleh akses listrik.
Harapan untuk mendapatkan listrik mulai terlihat pada 2009 silam ketika World Wide Fund for Nature atau WWF melakukan kunjungan ke Desa Harowu. Kawasan Desa Harowu memiliki hutan lindung terbesar di Kabupaten Gunung Mas, sehingga proses konservasi hutan menjadi hal utama di desa ini, hal inilah yang membawa kedatangan WWF ke Desa Harowu. Siapa sangka, kunjungan singkat itu menjadi awal mula munculnya harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan akses listrik.
Pihak desa melakukan koordinasi bersama WWF dan menyampaikan bahwa proses konservasi ini harus menguntungkan masyarakat. Menjaga hutan menjadi keahlian masyarakat Suku Dayak secara turun temurun, namun dalam hal konservasi hutan desa ini mereka menyarankan untuk meminta imbalan berupa fasilitas akses listrik. Diskusi berlangsung cukup lama dari 2009 hingga 2012 menghasilkan terbangunnya PLTMH Harowu dengan kapasitas 15000 watt yang dibangun atas kerja sama pihak desa, Bank BNI, dan WWF.
PLTMH Harowu berada di hulu sungai Nyohoi yang juga menjadi sumber air bersih masyarakat. Jarak sungai ini sekitar 2,6 kilometer dari pemukiman warga. Pembangunan PLTMH dilakukan berupa hibah dengan dana berkisar Rp2 miliar. Masyarakat desa melakukan gotong royoyng dan terlibat aktif dalam proses perancangan, konstruktsi hingga perawatan. Listrik dari PLTMH ini menjadi sumber penerangan di 50 rumah dan satu sekolah dengan kapasitas yang digunakan sebanyak 9000 wat.
Mengolah sumber energi terbarukan cukup praktis namun bukan berarti PLTMH Harowu tidak memeroleh kendala di usia yang telah mencapai satu dekade. Masyarakat desa Harowu mengandalkan iuran bulanan untuk perawatan PLTMH ini. Sesekali mereka melakukan perbaikan dengan menggunakan dana desa.
Kendala yang ditemui dalam proses perawatan PLTMH ini dapat berupa kendala sosial masyarakat yang enggan membayar iuran dan masalah teknis kerusakan turbin akibat sumbatan pasir dan bencana alam seperti banjir. Namun berbagai kendala ini dapat dilalui dengan baik oleh masyarakat desa yang bekerja perangkat desa beserta tokoh adat. Karena PLTMH ini dibangun berdasarkan permintaan masyarakat, maka rasa memiliki yang tinggi membuat setiap permasalahan selalu dapat solusi terbaik.
Pemilihan bahan konstruksi di PLTMH Harowu juga dipertimbangkan dengan baik. Mereka membangun sumber energi terbarukan dengan potensi yang dimiliki desa. Misalnya pasir yang diperoleh dari sungai mereka, kemudian kayu ulin menjadi pengganti tiang utilitas, rumah pembangkit dengan sistem pondok khas masyarakat desa. Kearifan lokal dipadukan dengan teknologi menjadi sinergi yang baik di PLTMH ini.
Keberhasilan masyarakat Harowu untuk berdaya dan memenuhi kebutuhan elektrifikasi mereka dari potensi desa ini dapat menjadi harapan bahwa masyarakat di rural area memiliki harapan untuk memeroleh hak atas elektrifikasi dengan mengandalkan potensi desa mereka. Selain mengandalkan PLTMH, 50 rumah di Harowu juga menggunakan solar home system yang diperoleh dari bantuan belanja dana desa. Sehingga mereka bertahan memenuhi kebutuhan elektrifikasi dengan dua sumber energi terbarukan sekaligus. Solusi yang hadir dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.