Kesenjangan terbentuk karena akses yang tidak merata. Akses terhadap pendidikan, air bersih, jalan, energi, fasilitas kesehatan, telekomunikasi, dan sebagainya. Akses yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia yang menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Namun, hingga hari ini masih begitu banyak daerah di negara kita yang berjuang memperoleh akses tersebut. Salah satunya Kampung Samurukie.
Samurukie adalah sebuah kampung binaan GAWIREA saat ini, yang ada di Distrik Pasue Bawah, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Kampung Samurukie hanya dapat diakses melalui jalur air, tidak ada alternatif lainnya. Untuk mencapai kampung ini butuh waktu sekitar 8 jam melewati rawa dengan ketinting. Atau 5 jam jika menggunakan speedboat.
Ketika menginjakkan kaki di Samurukie, hati kami begitu hangat disambut oleh masyarakat dan kami dijaga dengan sangat baik. Tinggal dan berbaur dengan masyarakat, perlahan kami menemukan ada banyak sekali kesenjangan di kampung ini, kesenjangan yang tak jauh berbeda dengan daerah 3T yang pernah kami kunjungi sebelumnya.
- Akses Energi
Pada malam hari, keadaan kampung nyaris gelap gulita. Hanya berkisar 5 rumah yang memiliki fasilitas penerangan. Listrik yang diperoleh berasal dari tenaga surya yang diberikan KESDM berupa LTSHE pada tahun 2018. Juga ada masyarakat yang memiliki genset, namun tak bisa menyala setiap hari, sebab kesulitan memperoleh BBM dan harganya yang mahal.
- Akses Air Bersih
Memiliki bak mandi yang penuh air dan keran yang mengalir di rumah adalah suatu kemewahan yang tak dirasakan masyarakat Samurukie. Untuk kebutuhan sanitasi, masyarakat menimba air dari sumur (jarak 20-50 meter dari rumah) atau menampung air hujan. Sedangkan, air untuk dikonsumsi diambil dari sumur yang berada di ujung pemukiman. Sumur yang rata dengan permukaan tanah, terbuka tanpa pagar, dengan kedalaman berkisar 1 hingga 1,5 meter. Kondisi sumur yang tidak terjamin higienitas airnya.
- Akses Fasilitas Kesehatan
Samurukie belum memiliki puskesmas pembantu (pustu) dan tenaga kesehatan khusus untuk melayani masyarakat. Pelayanan kesehatan hanya dimiliki oleh kampung sebelah, Kampung Busiri. Jika perlu berobat, masyarakat Samurukie harus menyeberang dan menyusuri sungai dengan ketinting selama 15 menit.
- Akses Pendidikan
Hanya terdapat satu jenjang sekolah di Samurukie, yaitu sekolah dasar. Hari kedua kami berada di Samurukie bertepatan dengan dibukanya sekolah dasar yang sudah selesai dibangun sejak dua tahun lalu. Namun, dikarenakan persoalan horizontal dan vertikal, bangunan sekolah dipalang sehingga tidak bisa dipakai. Akibatnya, selama beberapa waktu, anak-anak hanya belajar di teras sekolah dengan kondisi seadanya.
Terdapat dua orang tenaga pengajar yang aktif hadir di sekolah (satunya kepala sekolah). Tak jarang mereka merasa kewalahan dalam mengelola 6 kelas dengan fasilitas sekolah yang terbatas, seperti buku, media, dan alat peraga. Belum lagi beban administratif yang harus dikerjakan hingga mngharuskan mereka bolak-balik ke pusat kabupaten. Beberapa hal ini semakin memperburuk efektivitas pembelajaran di sekolah.
- Akses Telekomunikasi
Beruntungnya, Samurukie sudah memiliki tower sendiri. Mini tower yang dibangun oleh Kemkominfo melalui program BAKTI dibangun sejak tahun 2021. Namun, sebagian besar masyarakat Samurukie tidak dapat menikmati fasilitas ini. Karena tidak memiliki smartphone dan juga adanya keterbatasan finansial untuk membeli paket internet. Di samping itu, fasilitas jaringan ini tidak diiringi dengan kemampuan literasi digital yang baik, sehingga masyarakat tidak dapat memanfaatkan jaringan internet secara optimal.
Kita tahu bahwa kondisi-kondisi kesenjangan akses ini tidak hanya terjadi di Samurukie. Masih banyak Samurukie lainnya di berbagai penjuru nusantara. Namun, upaya pemerataan akses ini tidak bisa kita embankan pada satu pihak saja, pada pemerintah saja. Diperlukan berbagai pihak untuk saling terlibat dalam memberikan akses yang merata bagi masyarakat. Demi memenuhi kebutuhan dasar manusia, sebagai perwujudan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Samurukie sebagai Representasi Aksesibilitas Daerah Terpencil di Pelosok Nusantara